BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda dan saling
memiliki ketergantungan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.
Perbedaan yang terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya
ketidakcocokan yang akhirnya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena
pada dasarnya ketika terjadi suatu organisasi, maka
sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya konflik .
sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya konflik .
Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa
peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik
tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk
mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer
organisasi.
Makalah ini mencoba menyajikan apa yang sebenarnya didefinisikan sebagai
konflik dalam suatu organisasi, pandangan mengenai konflik, sumber dan jenis
konflik, serta bagaimana melaksanakan manajemen konflik dalam organisasi.
B. PERMASALAHAN
B. Permasalahan
Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi
masalahnya sebagai berikut :
A. Definisi Konflik
B. Pandangan Mengenai Konflik
C. Sumber Konflik
D. Jenis-jenis Konflik
E. Penerapan Manajemen Konflik dalam Organisasi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Manajemen konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku
maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk
komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana
mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar
(di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah
informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi
efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak
ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan
langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka
mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin
menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam
memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan
keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses
manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih
umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
1.
Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya
konflik yang keras.
2.
Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri
perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
3.
Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan
menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi
pihak-pihak yang terlibat.
4.
Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara
kelompok-kelompok yang bermusuhan.
5.
Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik
sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari
peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam
mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap
sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan
penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan
proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery
(1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota
merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan
model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan
sampai mencapai model yang representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses
manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik
perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap
keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi
karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka
dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan
untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan
atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut
berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai
aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
B. Teori-teori Konflik
Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah:
• Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar
masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
• Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh
kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau
dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas,
pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan
mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan itu.
• Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi
yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak
yang mengalami konflik.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan
perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk
melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang
sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua
belah pihak atau semua pihak.
• Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa
lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara
pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan
ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara
mereka.
• Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan
dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik
mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki
tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
• Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah
sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan
jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik,
mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan,
perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Konflik
Terdapat banyak definisi mengenai konflik yang bisa jadi disebabkan oleh
perbedaan pandangan dan setting dimana konflik terjadi. Dibawah ini bisa
terlihat perbedaan definisi tersebut:
Konflik merupakan suatu bentuk interaksi diantara
beberapa pihak yang berbeda dalam kepentingan, persepsi dan tujuan .
Konflik adalah perbedaan pendapat
antara dua atau lebih banyak anggota organisasi atau kelompok, karena harus
membagi sumber daya yang langka, atau aktivitas kerja dan atau karena mereka
mempunyai status, tujuan, penelitian, atau pandangan yang berbeda. Para anggota
organisasi atau sub-unit yang sedang berselisih akan berusaha agar kepentingan
atau pandangan mereka mengungguli yang lainnya . Konflik merupakan sebuah
situasi dimana dua orang atau lebih menginginkan tujuan-tujuan yang menurut
persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang diantara mereka, tetapi hal
itu tidak mungkin dicapai oleh kedua belah pihak .
Konflik adalah perilaku anggota
organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain,
prosesnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah menghalangi
atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitan dengan dirinya atau hanya jika
ada kegiatan yang tidak cocok . Di antara definisi yang berbeda itu nampak ada suatu
kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau
perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan lain sebagainya. Terlepas dari
faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu konflik, gejala yang mengemuka
dalam suatu organisasi saat terjadi konflik adalah saat individu atau kelompok
menunjukkan sikap “bermusuhan” dengan individu atau kelompok lain yang
berpengaruh terhadap kinerja dalam melakukan aktivitas organisasi.
B. Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini disebabkan karena adanya
pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik merugikan, hal yang wajar atau
justru harus diciptakan untuk memberikan stimulus bagi pihak-pihak yang
terlibat untuk saling berkompetisi dan menemukan solusi yang terbaik. Pandangan
itu adalah sebagai berikut :
1.
Pandangan
Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu
buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus
dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan
istilah violence, destruction, dan irrationality.
2.
Pandangan
Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa
konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan
organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu
keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa
sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
3.
Pandangan
Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong
terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif,
tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif,
dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik
perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
C. Sumber Konflik
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M. Hardjana mengemukakan sepuluh
penyebab munculnya konflik , yaitu:
a. Salah
pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikas
b. Perbedaan
tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dipegang
c. Rebutan dan persaingan dalam hal yang terbatas
seperti fasilitas kerja dan jabatan
d. Masalah
wewenang dan tanggung jawab
e. Penafsiran yang berbeda atas satu hal, perkara
dan peristiwa yang sama
f. Kurangnya kerja sama
g. Tidak
mentaati tata tertib dan peraturan kerja yang ada
h. Ada usaha
untuk menguasai dan merugikan
i. Pelecehan pribadi dan kedudukan
j. Perubahan
dalam sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas
tentang apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri
menyatakan bahwa penyebab yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
a. Pembagian sumber daya (shared resources)
b. Perbedaan dalam tujuan (differences in goals)
c. Ketergantungan aktivitas kerja (interdependence of work activities)
d. Perbedaan dalam pandangan (differences in values or perceptions)
e. Gaya individu dan ambiguitas organisasi (individual style and
organizational ambiguities).
Robbins sendiri membedakan sumber konflik yang berasal dari
karakteristik perseorangan dalam organisasi dan konflik yang disebabkan oleh
masalah struktural. Dari sini kemudian Robbins menarik kesimpulan bahwa ada
orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan orang lain dan
kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja atau interaksinya
yang formal. Konflik perseorangan ini disebut Robbins dengan konflik
psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan perhatian pada sumber konflik
organisasi yang bersifat struktural. Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan
Robbins, yaitu:
a. Saling ketergantungan pekerjaan
b. Ketergantungan pekerjaan satu arah
c. Diferensiasi horizontal yang tinggi
d. Formalisasi yang rendah
e. Ketergantungan pada sumber bersama yang langka
f. Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan
g. Pengambilan keputusan partisipatif
h. Keanekaragaman anggota
i. Ketidaksesuaian status
j. Ketakpuasan peran
k. Distorsi komunikasi
D. Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan
untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada
juga yang membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.
a. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis konflik ini disebut juga konflik intra
keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi,
Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan yangØ memiliki
kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan
bawahan.
2.
Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara
mereka yangØ memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar
karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3.
Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan liniØ yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi
sebagai penasehat dalam organisasi.
4.
Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi
konflik menjadi lima macam , yaitu:
1.
Konflik dalam diri individu (conflict within the
individual). KonflikØ ini terjadi
jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena
tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik
individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik
peranan .
2.
Konflik antar-individu (conflict between individuals).
Terjadi karenaØ perbedaan
kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3.
Konflik antara individu dan kelompok (conflict between
individuals andØ groups).
Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok
tempat ia bekerja.
4.
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama
(conflict amongØ groups in
the same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok
memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Masalah ini terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan
tujuan atau norma mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan
berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi
organisasi secara keseluruhan.
Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam
perebutan sumberdaya yang sama.
c. Konflik Dilihat dari Fungsi
Dilihat dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
1. Konflik
fungsional (Functional Conflict)
Konflik
fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
2. Konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict).
Konflik
disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut
Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi
suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula,
konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu
yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut
dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan
individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional .
E. Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal
ini disebabkan karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung
mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik direncanakan
atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan struktur dan personalia,
tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang
berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani
secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan
menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat.
Untuk itulah
diperlukan upaya untuk mengelola konflik secara serius agar keberlangsungan
suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara dalam
pengelolaan konflik, yaitu:
a) Merangsang
konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya rendah karena
tingkat
konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara ini adalah:
·
Minta bantuan orang luar
·
Menyimpang dari peraturan (going
against the book)
·
Menata kembali struktur organisasi
·
Menggalakkan kompetisi
·
Memilih manajer yang cocok
b) Meredakan
atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau kontra-produktif
c) Menyelesaikan
konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah:
·
Dominasi dan penguasaan, hal ini
dilakukan dengan cara paksaan, perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui suara
terbanyak.
·
Kompromi
·
Pemecahan masalah secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara
ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok untuk
menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah pihak.
Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian
yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk mengelola konflik dapat dilakukan
dengan cara :
1.
Pencairan, yaitu
dengan melakukan dialog untuk mendapat suatu pengertian keterbukaan,
pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi jika konflik terjadi
dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang emosional
2.
Belajar
empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasan orang
lain sehingga didapatkan pengertian baru mengenai orang lainmencari tema
bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantu dengan cara mencari
tujuan-tujuan bersama menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan
mencari alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan. menanggapi berbagai alternatif,
setelah ditemukan alternatif-alternatif penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik mempelajari dan memberikan tanggapan mencari
penyelesaian, sejumlah alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh
suatu konsensus untuk menetapkan suatu penyelesaian membuka jalan buntu,
kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan
berpengalaman dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalah mengikat diri
kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah
dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat
memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri pada
penyelesaian itu mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir dari langkah
penyelesaian konflik adalah dengan
penerimaan atas suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu
dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
1. bersaing
2. kolaborasi
3. mengelak
4. akomodatif
5. kompromi
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini melakukan
tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
1.
menghindari konflik
2.
mengaburkan konflik
Mengatasi
konflik dengan cara:
1) Dengan kekuatan
(win lose solution)
2) Dengan
perundingan.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau
pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam
organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa
hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan
harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan
konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut.
Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh pengalaman dalam
menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam
organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Garry Dessler.
1989. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 2, Jakarta : PT. Prehelinso
Hani
Handoko. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE
Werther,
W.B. Jr & Davis, K. 1996. Human Resource and Personel Management. USA: Mc
Graw-Hill, Inc
Blanchard
Ken, dan Paul Hersey, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber
D
William P.
Anthony, Pamela L. Perrewe, 1996, Strategic Human Resouce Management, The
Dryden Press aya Manusia, Jakarta: Erlangga, 1986
Brown, L.
Dave, 1984. Managing Conflict Among Groups, dalam Organizational Psychology,
Herbert A. Simon (ed.), New Jersey: Prentice Hall Inc.,
0 komentar:
Posting Komentar